Sore, Alanis!


NP : Grenade – Bruno Mars

Ngahahahahahahahaha.

Maaf ketawa doang. Aku dan MAXIMAL-ku baru ajaaa selesai latihan drama di aula. Minggu depan sudah mesti show off, tapi properti dan persiapan pemain belum clear 100%. Semangat MAXIMAL! Semangat-semangat-semangat, pasti bisa. Tadi juga aku abis beli nasi goreng pedes Pak Bontang. Sekarang perutku panas :(

Ini sepenggal coretan di atas loose leaf gak bondo dari Shofi pas pelajaran SKI tadi.

Melihat cantiknya latte art bunga mawar di permukaan cangkir mocha latte-ku, aku jadi tidak ingin merusaknya. Lebih baik cantik nan utuh seperti itu daripada kubiarkan mereka melewati kerongkongan begitu saja. Hei, ayolah, jangan berpikir konyol, Alanis. Kau memesan mocha latte untuk ditenggak habis hingga tetes terakhir guna membunuh amarah.

Kukira sepiring hot cake yang dibubuhi madu merupakan jodoh yang tepat untuk mocha latte dan hatiku.

Aku sudah 4x marah dalam tiga hari pertama November. Bukannya aku tidak tahu bahwa cemberut membutuhkan 43 otot wajah dan mempercepat penuaan. Kucoba sabar. Istighfar. Memupuk hatiku dengan segala macam kalimat positif yang tanpa sadar membuatku merasa makin jengkel. Apa daya? Bukannya tidak berhasil. Tapi tidak secepat itu watakku menjadi sabar bak Nabi Ayyub. Butuh proses? Ha,perfect.

Marah pertama ditujukan kepada Ellina Restia, anggota Klub Baca yang susah konsentrasi tiap kami membahas buku bercorak romansa Barat. Marah kedua kepada Mey Soraya yang punya masalah dengan giginya. Ellin kembali ‘beruntung’ mendapat marahku yang ketiga. Selanjutnya, Yofinda Arif, anak baru di kelas Bahasa Jepang, pemilik wajah konyol setelah Rowan Atkinson yang jadi sasaran kemarahanku.

Aku sungguh lelah. Lelah jadi pemarah. Aku lelah dengan diriku sendiri.

“Kopinya diminum, Mbak.” Seorang OB coffee shop ini menegurku. “Nanti kalau dingin kurang enak. Jadi beda sama ciri khas kafe ini.” Sambungnya sambil mengepel bagian bawah meja sebelahku.

Kuseruput mocha latte dari mulut cangkir. Sedikit terganggu dengan teguran OB bertubuh tambun itu. Tapi aku sungguh berterimakasih untuk tegurannya. Syukurlah mocha latteku belum mendingin. Masih cukup hangat. Mereguk secangkir kopi hangat yang diseduh dengan susu dan sedikit mikrofoam adalah cara terbaik membunuh galau, marah, dan gelisah.

Aku suka kopi. Hanya beberapa, mocha latte dan cappuccino. Tidak begitu suka dengan Americano favorit Papa atau espresso kegemaran Mama.

Jeer Wedano. Namanya agak susah. Coffee shop baru yang berdiri di samping katedral tua kota ini. Interiornya mengambil gaya klasik, mengingatkanku pada Om Reiz Sasmita, owner Jeer Wedano sekaligus sahabat Papa ketika menempuh studi di Sorbonne, Prancis. Om Reiz sendiri yang mendesain coffee shop ini. 5 tahun hidup di Prancis membuatnya tergila-gila dengan hal-hal klasik. Syukurlah Om Reiz tidak sempat menggulung rambutnya (untung warnanya bukan abu-abu!) dengan gaya pembesar VOC.

Sepanjang dinding cokelat lembut kafe ini tertempel pajangan partitur-partitur simfoni klasik. Lampu-lampu fluoroscent yang, ah, aku kurang suka. Entah kenapa. Aku tidak begitu suka dengan sesuatu yang remang-remang. Abu-abu. Gelap tidak, terang juga tidak. Fireplace di sudut ruangan adalah yang terbaik. Aku menyukainya. Serasa di Eropa. Sayang sekali kursi di dekat fireplace ditempati lebih dulu oleh pasangan muda-mudi berseragam putih abu-abu yang mengingatkanku akan kisah cinta Galih dan Ratna.

Ah, aku jadi ingin kembali ke masa putih abu-abu. Memori seperti flashback membungkus otak. Dan sebuah nama yang tak kuminta ikut datang bersama memori itu.

Baratha Yudha.

Komentar

Postingan Populer