Hana Told Me


“Kak Riza, kenapa sih kakak suka motret?” tanya Hana suatu sore, di sebuah tepi danau buatan yang ramai pengunjung.
Ariza mengalungkan kameranya, DSLR Nikon D700 dan membenarkan letak tas kamera yang menggantung di bahu kanannya. “Kepo ya,” tuduhnya membuat gadis cantik tersebut tertawa dengan pipi yang bersemu merah. “GR banget dah.” tukas Hana sambil  terus berjalan, menjajari langkahnya dengan langkah Ariza yang panjang.
Sehembus angin lembut menerpa wajah keduanya, membuat Hana membetulkan kerudung merah marun-nya yang sedikit tersingkap. Keduanya berjalan di atas jalan setapak
“Soalnya Na,” tiba-tiba Ariza berhenti, kedua mata pemuda berkaos cokelat tua itu menatap Hana sejenak. “Soalnya kamera itu salah satu teknologi ciptaan manusia sebagai media lukis semua keindahan di sini. Media yang bisa kita manfaatkan untuk menyajikan semua pesona di sini dalam bentuk yang real, tapi berbeda. Unik sekali. Apalagi kamera itu diciptakan dengan meniru miniatur mata kita. Mata ini,” Ariza menunjuk kedua matanya sendiri dengan jari tengah dan telunjuknya, “One of precious thing that Allah gave to us. Mata ini, saking berharganyakalo kakak bilang, nggak ada satu harga tinggi pun yang bisa membeli mata ini.” Ariza meneruskan langkah kakinya. Hana mengangguk-angguk, mencerna kata-kata Ariza sambil menunduk memandangi ujung sneakers-nya.
Jepret! Satu suara yang dikeluarkan benda hitam itu membuat Hana refleks mendongak. “Yaaah, Kak Riza kenapa moto aku nggak bilang-bilang?” protesnya.
Ariza hanya tersenyum kecil, “Duduk situ?” pemuda itu menawarkan sebuah bangku taman kosong di dekatnya. Tanpa mengiyakan, Hana mengikuti langkah Ariza menuju bangku yang dimaksud.
“Kadang, mengambil potret seseorang itu nggak perlu kasih notif.” Ujar pemuda berwajah bersih itu.
Hana ngeles, “Tapi kan mukanya jadi nggak keliatan. Muka kan anugerah Kak, sayang dong kalo nggak diliatin.”
Ariza tertawa kecil, “Kamu geser sini sedikit.” Hana menurut. Ariza merapatkan posisi duduknya dengan gadis itu, membuat jantung Hana berdebar sedikit lebih cepat dari debar normal. Dihadapkannya kamera tersebut pada keduanya yang sekarang duduk berdua dengan sedikit spasi, “Cheese!” kata Ariza. Hana meringis menampakkan gigi-giginya.
“Dah nih, puas?” tanya Ariza sambil menunjukkan hasil foto narsis mereka berdua.
“Puas banget,” Hana mengedipkan sebelah mata.
“Lagi dong kakaaak,” pintanya dengan aksen ABG alay jaman sekarang. Ariza ber-isss lalu tertawa, tapi dengan senang hati mengabulkan permintaan Hana.
“Mesra banget gilaaa!” komentar Farhan, menghampiri adik perempuan dan sahabat karibnya. “Riza seneng nih ya, foto-foto sama Hana.” tuduhnya sambil mengacak lembut kepala Hana.
Hana tersipu. “Dia yang seneng foto sama orang kece.” tuding Ariza.
“Idih, kagak ya, sori! GR terus dari tadi!” kali ini adik Farhan nggak mau kalah.
“Udah deh ya, kalian berdua bawel semua. Mending sekarang kita foto bertiga.” Farhan mengambil alih kamera dan menghadapkannya kepada mereka bertiga. Ia nyempil di antara Hana dan Ariza. Hana menempelkan pipinya pada sang kakak. Ariza mendekatkan kepalanya pada Farhan, “CHEESE!!”

To : Miftach Khairunnisa
Aku iseng bikin potongan cerita kayak gini. Tokohnya sama kayak cerita bikinan kita pas SMP dulu :3 Kalo pulang dari Al-Izzah baca ya! Ini 55% dedicated buat kamu. Kangen kamu banget Nisa :'D Feel free to leave comment ya! 

Komentar

Postingan Populer