Cuma : Desita dan Raka
Adalah Coffeelova,
tempat bernuansa klasik dengan sedikit sentuhan retro yang terletak di dekat perempatan Bilangan Soebardjo Raya. Aku
tahu tempat ini dari Raka, dua minggu sebelum kepindahannya ke Palembang yang
jauh sekali dari Surabaya.
“Kafe baru, Des.”
Katanya waktu itu sambil menyodorkan helm padaku. “Kamu harus coba cokelat
panasnya. Lebih enak dari yang di Coffee Toffee.”
Pulang sekolah,
aku dan Raka mampir ke Coffeelova dengan motor Raka. Sebelumnya aku juga sudah
izin sama Ummi. Aku duduk di belakang Raka, memberi sedikit jarak dari
punggungnya. Agak deg-degan, meskipun bukan pertama kalinya Raka memboncengku.
Satu-satunya
laki-laki yang bisa bikin aku nyaman dibonceng cuma Ayah. Cara nyetir motor
Ayah pas, ngebutnya pun masih dalam taraf sreg di hati. Nggak kayak Mas Ditya,
sepupuku yang kini kuliah di UNESA, pernah bonceng aku naik motor Mega Pro-nya.
Aku benci motor gituan. Mas Ditya ngebut banget, pelannya juga kelewat pelan.
Benci deh kalo Ayah atau Ummi nggak bisa jemput dan harus mengutus Mas Ditya
ngejemput. Pertama, motor dan cara nyetirnya yang nggak keren sama sekali itu
(buatku lho ya), kedua, gayanya yang sok anak band, bikin ilfil segajah-gajah
di KBS. Untung Mas Ditya nggak jelek-jelek amat. Mukanya sedikit mirip sama
Rezky Aditya, iteman dikit. Sedikit
lho ya. Lumayan bikin Larisa Denanta, temanku yang anak cheers bilang,
“Pacarmu, Des? Cakep banget ya, anak band kali ya?”. Aku sok muntah
mendengarnya. Cakep banget dari Ujungkulon?
“Pegangan nggak?”
Tanya Raka membuyarkan lamunanku.
Aku mendengus, “Enggaaak.” Nggak tau kenapa,
Raka selalu tanya hal yang sama, padahal pasti dia udah tau aku bakal bilang nggak tiap kali ditanyain begitu
.
O ya, pernah
sekali sih. Aku pegangan pinggang Raka. Eh bukan pinggang! Pegangan baju
seragamnya ding. Geli gimana gitu, sumpah. Aku juga sebenernya nggak mau tapi
sungguh-sungguh terpaksa. Waktu itu pulang sekolah juga, itu hari pertama aku “dapet”
yang bikin seharian aku tidur di UKS akibat nyeri haid yang melanda. Ummi dan Ayah
nggak bisa jemput ada urusan penting di Tanjung Perak. Nyeri haid yang aku
alami cukup parah, sampe-sampe nggak kuat duduk. Raka yang diminta Ummi pulang
bareng aku bingung gara-gara aku nolak buat bangun dari kasur UKS. Sakitnya itu
loh, setengah hidup! Ajib bangeeet.
“Coba
kamu jadi aku, Ka. Pasti ngerti gimana sakitnya!” kataku waktu itu.
Akhirnya Raka
minta tolong teman sekelasnya, Saskia Ramadhina (aku dan Raka nggak sekelas)
buat bantuin aku jalan sampe parkiran motor. Mana aku lagi bad mood banget, cemberut dan pasang muka juelek bin nggerutu
terus-terusan. Hebatnya, Raka ngerti dan sabar baaanget nanggepin aku. Dia
nggak mengucapkan apapun yang sekiranya bikin mood-ku tambah rubuh.
“Ka ngebut ya Ka! Ndang
sampe rumah, ndang tidur aku.”
kataku.
“Boleh, tapi kamu pegangan
sini-ku, gimana?” Raka melonggarkan seragamnya bagian pinggang.
Aku
mendelik kaget, “MOOOH!”
“Kamu mau jatuh?” ia bertanya tanpa
menatapku, menancapkan kunci motor ke lubang dan menaiki motornya. “Ya tapi nggak megang juga dong! Nggak ah,
nggak mau.”
Akhirnya Raka
benar-benar ngebut tanpa aku pegangan pinggang seragamnya. Kenceng
banget, nggak bohong. Selang 400 meter dari sekolah ada anak SMP nyebrang tanpa
liat kanan kiri dan Raka langsung ngerem mendadak. Syukurnya aku nggak jatuh,
tapi refleks lompat dari jok ke jalanan. Anak SMP innocent itu ngabur sambil ketawa-ketawa. Bodoh!
Raka orangnya
sabaaar banget. Ia cuma melempar tatapan super dingin ke anak SMP itu kemudian
menoleh padaku dengan raut khawatir.
“Des, nggak papa Des?” Raka bertanya
panik.
Mukaku tambah jelek, “Nggak apa kok. Pelo banget sih anak itu! Ayo Ka
jalan lagi.” Akhirnya dengan amat terpaksa aku pegangan seragamnya Raka. Raka
tersenyum, seolah bilang, “makanya jangan ngeyel,”
Motor Raka mulai
berjalan menyusuri jalanan Surabaya yang panasnya minta ampun. Macet, polusi,
kadang aku berharap bisa punya rumah di Batu atau Cangar sekalian. Motor dan
mobil bertambah banyak tiap tahun, sementara jalanan ya segini-segini aja.
Nggak diperlebar, apalagi diperkecil. Untungnya motor Raka nggak sejenis sama
motor Mas Ditya.
“Ka,” panggilku
sambil menyembunyikan kedua telapak tangan di balik kerudung. Takut berubah
warna. Udah item jangan ditambahin item.
“Ka, Rakaaa,” Raka nggak menjawab.
Sebal, kuputuskan untuk menarik lidahku, pertanyaan yang tadi mau aku tanyakan
kutelan lagi.
“Des, Desita,”
Raka menyodorkan HP dengan tangan kirinya
“Apa?”
“Tolong balesin BBM-nya Silvi.
Bilang, lagi di jalan.”
“Silvi anak Paskibra itu?” tanyaku.
“Iya, Kepo.” Raka
meledekku.
ü
Kakaaa km lg apa? Silvi lg sndrian nih
di rmh :(
ü Duh silvi gk dibales nih, hellooo kaka
kaka kaka, tidur ta? :O
ü PING!!!
“Sejak kapan
namamu berubah jadi Kaka?” tanyaku sambil mengetik balasan BBM-nya. Raka
berujar, “Yang manggil Kaka cuma Silvi.” “Ooh, semacam panggilan sayang gitu
ya?” aku memandang jalanan yang penuh kendaraan bermotor tanpa menyadari bahwa
ucapanku itu lebih pantas keluar dari mulut seorang pacar.
“Nggak usah jealous, Desita.” Dalan kondisi jalanan
yang padat itu bisa juga aku mendengar omongan Raka. Serta merta kujitak kepala
Raka yang terlindungi helm. “GR-nya diturunin ya, Mas.” Seruku sambil menatap
layar BB Raka. Kudengar, ia tertawa.
·
Raka lg nyetir. Desita yg pegang
hpnya. Sori
Aku terhenyak kaget melihat balasan yang
kuketik tanpa sadar itu, lalu tersenyum malu. Kutundukkan kepalaku ketika
mendadak rasa hangat entah datang dari mana menyelimuti. Rasanya aneh.
Coffeelova sepi, mungkin kalau kami datang
pada malam hari lebih ramai. Hanya ada empat pengunjung, termasuk aku dan Raka.
Kami duduk di dekat panggung. “Kalo malam minggu, biasanya ada live music band lokal di sini. Pernah
juga Ryan Stand Up Comedy 1 ke sini.” Raka menjelaskan padaku bak seorang guide pada turis asing. “Silakan,”
pelayan membawakan kami daftar menu.
“Cobain hot
chocolate-nya deh. Aku pesan espresso.”
Aku mengangguk, “Bener ya. Lebih enak dari yang di Coffee Toffee!”
“Di lidahku gitu sih,” kata Raka lagi.
“Kamu udah berapa kali ke sini Ka?” aku membuka topik obrolan.
“Sekali, bareng Tito. Dia yang nunjukin aku kafe ini. Waktu itu aku pesen cokelat panas di sini,. Waktu nyobain cokelat panas, enak banget, aku langsung kepikiran ngajak kamu ke sini. Kamu kan pernah bilang nggak ada yang bisa ngalahin hot chocolate-nya Coffee Toffee.” Raka berujar panjang sembari menuliskan menu pesanannya.
“Sekali, bareng Tito. Dia yang nunjukin aku kafe ini. Waktu itu aku pesen cokelat panas di sini,. Waktu nyobain cokelat panas, enak banget, aku langsung kepikiran ngajak kamu ke sini. Kamu kan pernah bilang nggak ada yang bisa ngalahin hot chocolate-nya Coffee Toffee.” Raka berujar panjang sembari menuliskan menu pesanannya.
“Langsung kepikiran aku?” aku tertawa, “Boleh GR nggak nih?”
Raka tertawa dengan raut salah tingkah,
“Boleh, dikit aja tapi.” Sahutnya, “kamu mau gelato nggak?”
“Apa itu gelato?” tanyaku dengan muka bodoh. Raka tertawa melihat mukaku, “Duh
kemana aja nih bocah, gelato itu es
krim, Desita. Enak kok, lebih enak dari Cornello.” Raka tahu aku penggemar
Walls Cornello yang bentuknya kayak piringan kaset itu.
“Iya deh.” Aku setuju. “Kamu kenapa sih Ka? Dari tadi promosi
makanan terus!”
Pelayan datang mengambil daftar pesanan,
secangkir espresso, secangkir hot
chocolate, sebuah gelato, dan sebuah
waffle stroberi ukuran besar.
Sambil menunggu pesanan datang, mulutku
yang bawel nggak tahan untuk nggak bercerita tentang apapun yang menarik hari ini.
Raka mendengarkanku dengan sabar, sesekali menyela cerita.
“Nah, Raka, sekarang giliran kamu cerita.” Tukasku.
Raka yang sedang menopang dagu menaikkan alis, “Nggak punya sesuatu yang harus
diceritakan.” Gumamnya.
“Genaaah!”
seruku, “Masa nggak punya cerita yang mesti dibagi ke aku? Hidupmu hambar, ya.”
Candaku lalu terkikik geli. Raka tidak tertawa, “Mungkin iya?”
Aku langsung berhenti ketawa. Jadi garing
gara-gara Raka. Ia menunduk, menekuni BB-nya sementara aku menyangga kepala
dengan tanganku. “Kenapa sih cowok itu irit ngomong,” gumamku.
“Cowok nggak sebawel cewek, Des.”
“Mas Ditya kalo sama temen kuliahnya enggak
tuh.”
“Pengecualian.” Ugh, jawaban Raka yang
singkat-singkat itu bikin suasana jayus deh.
“Emangnya kamu pacarku ya Desita?”
pertanyaan yang keluar dari mulut Raka membuat wajahku seolah kambing congek. “Sapa
bilang?”
“Silvi,” jawaban Raka membuatku tersadar
mengenai apa yang kutulis di BBM. “Maaaaf, aku iseng tadi hehehe.” Jawabku
sambil menggaruk kepala, cengengesan.
“Kenapa minta maaf?” Raka bertopang dagu,
memandangku dengan senyum yang sulit diartikan. “Aku seneng kok.”
Mulutku membulat otomatis.
“Espresso,
hot chocolate, gelato, dan waffle
stroberi.” Pelayan meletakkan pesanan. Aku tersenyum dan berterimakasih pada
pelayan. “Ini lho, cokelat panas yang aku bilang enak.” Kuterima cangkir
cokelat panas dari Raka dan menyeruputnya sedikit. “Gimana?”
“Panas!” komentarku seraya meleletkan
lidah. Raka menaikkan alis, “Tapi enak.”
“Waffle-nya
bagi dua sama aku.” Kata Raka sambil memotong waffle hangat itu menjadi dua bagian. “Aku kenyang, Ka. Tadi udah
makan so…”
“Aku nggak bisa makan ini sampe habis.”
Raka menyela. “Nurut aku, Desita.” Suaranya kini seolah kakek yang menasehati
cucunya.
PS : bukan pengalaman pribadi kok, murni dari otak. nama "raka" terinspirasi dari seorang teman lama, "desita" diambil dari tokoh di sebuah cerpen :3
Komentar
Posting Komentar