Kenyataan
#1 To Bali by Taxi
Semua travel bag dan koper yang sudah dikepaki ditumpuk di ruang tamu.
Aku dan Zehra berlomba mematikan semua saklar lampu di rumah berikut peralatan
listrik yang lain. Ummi masih di dapur. Sementara Papa sedang menghubungi
sebuah nomor untuk menelepon taksi.
Sambil menunggu taksi pesanan
datang, aku mengisi daya baterai tablet dan HP-HP lain milik orang rumah. Zehra
sedang bermain-main di kolam ikan. Entahlah apa yang dia mainkan. Ummi sudah
siap dan mengobrol bersama Papa di teras rumah.
Diiin... diiin... Suara klakson taksi terdengar. Kucabut semua charger dan memasukkan semua alat
komunikasi ke tasku. Papa memasukkan travel
bag dan koper ke dalam bagasi taksi dibantu Ummi dan sopir taksinya.
Setelah semua siap, aku mengunci pintu rumah dan menyerahkan kuncinya ke Ummi. Papa duduk
di depan, di samping sopir. Aku, Zehra dan Ummi duduk di belakang. Baru beberapa meter taksi berjalan dari
halaman rumah kami, Papa buru-buru menyetop taksi. Papa minta kunci rumah pada
Ummi kemudian turun dengan agak berlari membuka pintu rumah. Aku terkejut
ketika melongok ke belakang, mendapati asap tipis menyeruak dari bagian
belakang rumah. Aku turun sebentar untuk melihatnya. Ternyata di dekat kolam
ikan ada api kecil yang membakar dedaunan kering. Pantas saja tadi adikku itu
bermain-main di dekat kolam ikan. Papa kembali, beliau sudah mengguyur api
kecil itu dengan beberapa gayung air dingin. Setelah memastikan api benar-benar
mati, kami masuk lagi ke dalam taksi.
Bismillahirrahmanirrahim, step
pertama On The Way to Bali started!
#2 To Bali with McD’s Burger
Zehra merengek lapar pada Ummi.
Aku yang masih berada dalam perjanjian diet mencibirnya. Dasar manja. Akhirnya sebelum kami ke bandara, Papa meminta sopir
taksi untuk masuk ke dalam sebuah restoran fast
food dan mengikuti jalur drive through.
Pada pos drive through pertama,
seorang petugas berbicara dengan kami. “Mau pesan apa?” demikian pertanyaannya.
“Paket Happy Meal satu dan...” Papa melirikku, “Big Mac,” Kataku nyengir, Ummi menggeleng kemudian istighfar. Ya ampun, kuputuskan untuk mengganti
pesananku dengan beef burger biasa.
Petugas meminta kami maju ke pos berikutnya dan menunggu barang beberapa menit.
Sambil menunggu pesanan jadi, aku
SMS-an dengan Anggi.
#3 To Bali in Soekarno-Hatta
Sampai di bandara, Papa membayar
taksi dan meminta kami menunggu di sederet bangku. Zehra minta ikut check in, akhirnya Papa dan Zehra check in di maskapai penerbangan Eager
Airlines. Maskapai baru ya? Namanya asing sekali. Masih tersisa sejam sebelum
keberangkatan, aku menikmati beef burger-ku.
Kemudian aku bertemu temanku, Dea. Ternyata Dea sekeluarga mau berlibur ke
Bandung.
Kemudian kami masuk ke waiting room. Papa dan Ummi membaca
koran yang disediakan oleh petugas bandara. Zehra asik main Subway Surfer
sementara aku bengong, nggak tahu harus apa. Kuputuskan untuk Twitter-an saja,
jalan-jalan sebentar di timeline, bales mention atau DM itupun kalo ada yang baru, sejam nggak bakal kerasa.
#4 To Bali by Plane
Pramugari bernama Utari itu
menunjuk sederet kursi sesuai nomor yang tertera di tiket pasawat kami. Kami
duduk di kursi masing-masing, mengenakan sabuk pengaman sesuai petunjuk yang
diperagakan Hanum, pramugari selain Utari tadi. Aku rajin sekali membaca kartu
ID yang mereka pakai, bukan?
Entah kenapa suara pramugari itu
lama-lama terdengar semakin pelan, sampai kemudian aku tak mendengar sama
sekali. Kedua mataku juga mengatup, pandangan kabur dan lama-lama hitam. Sepi,
aku seperti hilang. Seluruh keluargaku merasakan hal yang sama, atau hanya aku
sendiri?
Beberapa lama kemudian, pilot
yang mengaku bernama Kapten Alan mengumumkan bahwa kami sudah hampir tiba di I
Gusti Ngurah Rai airport. Pesawat
mulai landing, penumpang diminta
mengeratkan sabuk pengaman. Dari jendela aku bisa melihat bus-bus pariwisata
berjejer rapi di luar. Papa melirikku, “Laper? Minta aja sama pramugarinya,”
kata Papa. Aku bingung, bukannya di Jakarta tadi aku sudah makan burger? Dan
bukannya habis ini kita turun kan?
#5 To Bali by D r e a m
Aku membuka mata. Ya ampun, ini di mana? Dinding hijau,
kasur biru, selimut Tazmania terlipat, lampu redup, ranjang susun, guling... tunggu-tunggu,
ranjang susun?
Di mana lagi ranjang susun kalau
bukan di ma’had? Jadi tadi itu cuma mimpi? Yang benar saja. Semuanya nyata.
Taksi, travel bag, airport, Dea,
kursi biru empuk pesawat, Utari dan Hanum yang berseragam oranye, Kapten Alan, waiting room...
“Hei rek, bangun, subuh rek, udah
jam 5 lho...” pintu dibuka oleh Dina, anak kamar samping. Sebentar, aku masih
bingung sebenarnya aku mimpi lagi apa asli.
So it was just a wonderful holiday, yang sayangnya cuma mimpi.
Komentar
Posting Komentar