another smoking trash
Kupandangi benda putih
seukuran separuh pensil di tanganku sambil mencari-cari antusiasme menghisapnya
enam bulan yang lalu. Lenyap. Entah kenapa, mungkin hasrat merokok ini hilang
ditelan darahku. Hancur menguap menjadi karbondioksida.
“Bagaimana Nya? Masih
berminat?” tanya Shila sebelum seruputan kopi ginsengnya terdengar.
“Nggak, Kak.” Jawabku
sambil meletakkan rokok itu di atas meja.
“For sure? Yakinkan Kakak dong.”
“I swear passion ngerokok itu udah kubakar bareng puntungnya.”
“Show me, then.” Shila tersenyum diplomatis. “Kalo kamu bisa jauh
dari rokok.”
Tanpa banyak bicara
kumasukkan ke dalam saku rokok putih berikut kotak yang masih terisi penuh itu.
“Aku kasih pengamen, gimana? They must be
happy to…“
“Nope.” Bantah Shila tegas.
Alisku terangkat, mohon
penjelasan. “I said nope. Dimana-mana
rokok cuma ngerusak paru-paru. Nggak peduli yang ngisep mau juara spelling nasional kayak
kamu, rektor, PNS, pengamen sekalipun. Kamu ngasih rokok ke mereka, nggak ada
bedanya kayak kamu bunuh mereka. Slowly.”
Shila, kakakku lulusan
psikologi sebuah PTN ternama di Indonesia. Enam bulan yang lalu ia bertekad
“mengurusi”-ku dengan membuka program saudara―whatever it named, Super Special Sibling Session, halah― Ia tahu
adik semata wayangnya ini kena pengaruh rokok dari seorang teman berengsek di
sekolah yang untunglah sudah dimutasi.
Tiap sore kami melakukan
sesi terapi anti rokok dengan metode baru yang ditemukannya dan menjadikanku
sebagai kelinci percobaan. Untunglah aku kelinci yang beruntung karena
percobaan itu tak melukaiku setitik pun. Jika nobel persaudaraan kandung itu
ada, kurasa Shila-lah yang paling cocok mendapatkannya. Ia
sungguh-sungguh-sungguh kakak paling perhatian dan paling sayang padaku.
Orangtua kami mendirikan
sebuah jasa advertising di
Connecticut, Amerika Serikat. Tak dinyana, usaha itu melaju pesat sementara
kami ngotot ingin sekolah di Indonesia. Ayah, dengan penuh bijaksana
mengizinkan sementara Mama terpaksa mengangguk patuh dengan keputusan Ayah.
Kami belajar di Surabaya
sejak aku SMP dan Shila duduk di bangku kuliah. Kami anak yang cerdas sehingga
proses penerimaan peserta didik tak berlangsung rumit. Ayah memberikan sebuah
rumah di daerah yang tak jauh dari sekolah, bersama seorang rewang bernama Bik Tatik.
Komentar
Posting Komentar