Dari Mac Fiyang | KKPK gagal

Aku membanting pintu kamarku lalu meletakkan ransel di atas meja dengan kasar. Kubaringkan tubuhku di atas ranjang. Krieeet, suara pintu dibuka terdengar. Pasti Luna.
“Ada apa Kim?” tanyanya sambil duduk di sisi ranjang. “Sepertinya kau sedang bad tempered. Apa gara-gara Mr. John lagi? Atau kali ini Patricia Black yang berulah?”
Aku tertawa di sela-sela cemberutku, “Yang benar saja, Luna.” Sahutku. “Memangnya kalau aku sebal harus selalu karena dua orang itu?”
“Tidak sih,” Luna tersenyum. “Tapi dua orang itu yang paling sering membuatmu sebal, bukan? Kau bisa berbagi cerita padaku,” tawarnya sambil mengelus kepalaku.
“Ide bagus, tapi tidak bisa sekarang ya Luna?” jawabku. “Aku masih belum mood.”
“Tidak masalah, Sayang. Kau bisa bercerita padaku kapan saja.”
Thanks Luna.” Kataku sambil melempar senyum kecil.
“Aku bisa membuatkanmu pai apel atau vanilla milk shake kalau kau mau. Ada juga frozen yogurt dingin di kulkas. Kau mau?” tawarnya.
“Cokelat panas ada?” Aku bertanya antusias. Cokelat bisa mengembalikan mood, kata Caroline Thomas, seorang teman asal Ferguson kemarin saat video call di Skype. Aku punya kebiasaan minum secangkir cokelat panas dibubuhi marshmallow tiap sore akhir pekan. Kalau Mom lebih suka menikmati secangkir teh rosella yang sehat, sementara Dad memilih vanilla latte buatan Mom dengan sedikit tambahan bubuk cokelat.
“Ada, mau dibubuhi marshmallow juga?” kuanggukkan kepala setuju.
3 minggu di sini sudah membuat Luna mengerti minuman kebiasaanku. Oh iya, Luna bilang, minuman favoritnya adalah frappucinno dengan banyak krimer, plus biskuit Marie regal. Aku agak tidak percaya, mengingat usia Luna yang 4 tahun lebih tua dari padaku masih suka makan biskuit bayi.
“Baiklah, 10 menit lagi aku akan mengantarkannya untukmu.” Tukas Luna tulus. Ia sungguh murah hati.
Thanks bunch again, Luna.”
Luna Lovegood a.k.a. Luna White adalah sepupu jauhku yang tinggal di Queensland, Australia dan punya rambut yang sedikit mirip dengan aktris Lily Collins. Ayah Luna, Gregory White adalah seorang komposer sementara ibunya yang merupakan sepupu (tepatnya dua pupu) dari Mom adalah seorang guru piano.  Namanya Jessica Crump. Luna pintar bermain grand piano. Ia ditugaskan ayahnya untuk mengikuti kompetisi classical music internasional di negaraku, Inggris. Ia pianis yang tangguh, sehingga berhasil tembus ke babak top ten. Babak top ten akan diselenggarakan seminggu lagi bertempat di sebuah international stadium di London. Sudah hampir sebulan Luna tinggal di rumahku. Kebetulan ada grand piano juga di rumah, kepunyaan Aunty Kathleen, adik bungsu Dad yang sedang kuliah di Bonn University (studi abroad disuruh Dad dan Kakek Theodore). Baik aku, Mom apalagi Dad tak ada yang pernah memainkannya. Tepatnya tidak bisa dan tidak tertarik. Keluargaku, keluarga Smith tidak ada bakat musik. Satu-satunya alat musik yang bisa kumainkan adalah klarinet, seperti Squidword Tentacle. Oh ya, Dad sempat bisa main harmonika tapi tak pernah dipelajari lebih lanjut. Harmonika itu akhirnya terpajang saja di lemari hiasan. Dad lebih tertarik membaca buku-buku filsafat, ekonomi, politik luar negeri yang membingungkan, atau bermain polo air bersama kawan-kawan lamanya di SMA dulu. Sementara Mom yang selalu berhadapan dengan Microsoft Excel dan rumus-rumus anehnya lebih suka memasak masakan luar negeri semacam nasi kebuli, shawarma, mie sapo tahu, tom yam seafood atau merajut sweater-sweater cantik untuk dipakai anggota keluarganya saat winter tiba.
Sebenarnya Michael Stephanson-lah yang menghancurkan mood-ku hari ini. Kemarin lusa dia berjanji akan memberiku satu album Red dari Taylor Swift titipan kakaknya. Kakak Mike, Sophia Stephanson, adalah seorang Swifties. Baru-baru ini aku ketularan Sophia yang sering mendengarkan lagu-lagu milik Taylor Swift. Aku paling suka dengan Love Story, Back to December, dan 22. Sophia berjanji akan meminjamiku satu album Red miliknya dan akan menitipkannya pada Mike. Mike sudah tiga kali ingkar janji!
Hari pertama, dia lupa. Katanya dia terlalu lama membaca Jungle Child karangan Sabine Kuegler di perpustakaan sekolah sampai lupa akan janjinya padaku. Kumaafkan. Walaupun aku sudah menunggu di taman sekolah selama sejam.
Hari kedua, aku berpapasan dengan Mike yang sedang mengendarai sepeda birunya dengan buru-buru. “Maafkan aku, Kimberly! Terribly sorry! Perutku mendadak sakit sekali! Aku sedang tergesa-gesa, besok saja ya!” aku baru mau menyahut saat ia sudah lenyap dari pandangan. Menyebalkan.
Hari ketiga, kutunggu Mike di taman sekolah. Aku sudah titip pesan ke Audrey Williams yang sekelas dengannya untuk memberikan albumnya padaku di taman sekolah sepulang sekolah. Ia kembali tidak datang. Kucari dia, ternyata sedang asyik bermain softball bersama Jason, Thomas, George, Edwin, Sam dan lainnya. Kupanggil dia, dia bilang lupa bawa albumnya.
Masa aku harus selalu menunggu Mike seperti itu? Dia kira aku ini ibunya? Dari pada begitu terus, lebih baik aku download sendiri di internet! Download seluruh album keluaran Taylor Swift kalau perlu.
Kriiing kriiing kriiing, telepon rumah berdering. Biar Luna atau Mom saja yang mengangkat. Letak kamarku dan telepon rumah tidak dekat, aku jadi malas mengangkatnya.
“Kim Sayang!” suara Mom berteriak memanggilku. “Ada telepon dari Sophia Stephanson!” Aku beranjak dari ranjangku dan menghampiri telepon. Setelah menyerahkan gagang telepon padaku Mom kembali ke laptopnya. Sepertinya kerjaannya menumpuk. Tak lupa Mom mengecilkan volume speaker laptopnya yang sedang memutar lagu yang dibawakan Michael Buble, Lost.
“Halo Sophie.” Sapaku.
Hei Kim. Aku mengerti kau sebal pada Mike. Maafkan dia ya.
“Ah lupakan saja.” Sahutku sok baik.
Tidak, tidak. Mike bilang mukamu cemberut sekali begitu tahu ia lupa membawa pesananmu. Sudah kuomeli dia. Aku minta maaf.”
“Ya, ya Sophie. Tak apa-apa. Sungguh!”
Baiklah kalau begitu. Sejam lagi aku akan mengunjungi bibiku di Orchidshire. Aku akan sekalian ke rumahmu untuk memberikan albumnya. Kau harus tahu bahwa Taylor Swift adalah diva sebenarnya! Sangat berbeda dari artis lain semacam Justin Bieber. Kau ada di rumah kan? Pastikan aku langsung bertemu denganmu agar albumku tidak jatuh ke tangan orang sembarangan. Ngomong-ngomong harganya lumayan bikin kantong tipis lho! Aku harus menabung 2 minggu dulu supaya bisa memilikinya, dengan ditambahi sedikit dari Daddy, tentunya. Joanne takkan mau kuajak patungan. Ia lebih suka Linkin’ Park, dan girl band T-ARA. Agak tidak terduga, bukan?” Sophie bawel juga. Selain itu dia agak berlebihan.
“Kupastikan kau langsung berbicara padaku. Aku di rumah sepanjang hari ini.” Tukasku cepat. Aku kurang suka dengan orang yang suka berbelit-belit.
Sophie cepat dong! Aku mau pakai telepon juga!” terdengar suara kakak Sophie, Joanne Stephenson.
“Kau mau telepon Zack lagi? Atau Carl? Atau Dave? Gantian dong! Kau sudah 3x lebih pakai telepon rumah ini!”
“Enak saja! Kali ini lain tahu! Billy Craig, putra tunggal pianis Alicia Craig itu!
Aku tak sengaja mendengar dialog Joanne dan Sophia di telepon. Berisik sekali. Aku berdeham.
Eh, Kim, kau masih di situ kan? Maaf-maaf.”
“Tak apa Soph.”
“Jangan lama-lama pakai telepon, Sayang. Tarif telepon sekarang mahal. Kasihan Sophia,” nasihat Mom dibalik laptopnya.
“Euh oke. Soph, aku dipanggil ibuku. Sudah dulu ya.”
Ya, sampai ketemu nanti.”
Keluarga Stephenson sungguh variatif. Joanne yang suka genit ke cowok-cowok, Sophie yang talkative, Mike yang suka lupa. Dengar-dengar, Mike punya adik laki-laki bernama Noah Stephenson. Dengar-dengar lagi, Noah ini cengeng sekali.
Aku baru membalik badan ketika Luna menyodorkan secangkir cokelat panas padaku. “Terimakasih banyak Luna. Kau baik sekali.” Pujiku sambil meneguknya. Enak.
“Sama-sama Kim. Semoga mood-mu cepat pulih.” Jawabnya riang.
“Ada apa Kim? Kau sedang bad mood?” tanya Mom sambil meletakkan kacamata full frame-nya di atas keyboard laptop.
Aku memutuskan untuk duduk di samping Mom. “Iya sih, tadi. Sekarang sudah lebih baik.” Kataku. Mom memainkan anak rambut hitamku yang turunan Dad. Kalau Mom memainkan anak rambutku, artinya Mom sedang kangen sekali dengan Dad. Dad itu seorang arsitek yang juga dosen Teknik Industri di beberapa universitas. Pekerjaannya mengharuskan Dad sering keluar kota bahkan luar negeri. Saat ini, Dad sedang ke Paris dan menjadi dosen tamu di Sorbonne selama setengah bulan. Bulan kemarin Dad juga ke Malaysia untuk riset dan pertemuan singkat dengan para profesor di Universiti Sains Malaysia selama 4 hari. Senangnya, Dad memberiku sebuah miniatur Petronas dan lima kotak cokelat Camior enak.
“Sudah lama kita tidak nonton film di bioskop. Kau mau nonton bersama Mom? Tentu saja Luna juga ikut.” Tawar Mom sambil merebahkan tubuhnya di sofa ruang tengah yang berbentuk daybed.
“Ide bagus! Bagaimana kalau kita menonton Wolverine!” usulku.
“Kedengarannya menarik.” Komentar Luna.
“Oke. Nanti sore kita ke Garden Theatre. Mom sedang ingin refreshing. Letih sekali rasanya. Oh ya, sekalian kita makan malam di luar yuk!”
“Aku ingin sushi, Mom! Kita makan di Triple-T Japanese Resto yuk!” ajakku.
“Kata Hanaka, bento di Triple-T harus dicoba,” gumam Luna.
“Benarkah? Kalau begitu kita ke sana nanti. Mom juga ingin coba ocha khas Jepang yang katanya pahit tapi sehat itu. Juga ingin mencoba kue mochi sakura. Sepertinya yummy.”
Green tea, Bibi?” tebak Luna
“Iya mungkin…” Mom mematikan laptopnya lalu mencabut charger yang mengisi baterai laptop dari stopkontak. “Supaya tidak terlalu lelah, Mom mau tidur sebentar ya. Luna, tidurlah. Semalam kau kurang tidur gara-gara latihan memainkan, apa itu? Moonlight Sonata, iya ‘kan? Kim…”
“Aku masih mau baca Vogue milik Mom, hehehe. Barangkali ada tas Chanel animal print yang bagus, aku bisa menabung untuk mendapatkannya! Lagian aku juga masih mau menunggu Sophie yang mau mampir ke sini. Mom istirahat dulu saja.”
Sambil melihat-lihat majalah Mom, kuhabiskan cokelat panasku. 5, 10 menit, Sophia tak kunjung datang. Ternyata Vogue bulan ini nggak ada yang menarik. Kubawa cangkir cokelatku ke dapur untuk sekalian dicuci. Mom membiasakan aku untuk bertanggung jawab setelah menggunakan sesuatu, contoh kecilnya: mencuci piring atau gelas sendiri setelah makan. Mom memang mempekerjakan seorang maid bernama Nanny Sandra, tapi maid itu datangnya 2 hari sekali. Hari ini dia tidak datang.
Ting tong…
Bel berdering, mungkin Sophie. Kuintip tamu yang datang dari lubang pintu. Benar saja, Sophie sudah berdiri dengan outfit serba pink dan bandana pink-putih di rambut pirangnya. Kubuka pintu rumahku.
“Halo, Kim!” sapanya lalu tersenyum. Kubalas sapaannya lalu mempersilahkannya masuk. “Tidak, Kim. Aku langsung saja. Habis ini aku mau ke Orchidshire, menghabiskan weekend di sana bersama sepupu-sepupuku yang datang dari Manchester. Mau ikut?” tawarnya. “Tidak ah, Soph, aku kan berniat di rumah sepanjang hari sambil memutar lagu Taylor Swift.” Jawabku agak bohong. Sebenarnya, aku tidak mau langsung memutar satu album itu. Aku kan tadi berencana nonton film dengan Mom dan Luna.
“Wah, ide bagus! Dijamin kamu nggak bakal menyesal deh menghabiskan weekend sambil mendengarkan idolaku nyanyi. Apalagi, Red itu album paling yahut dari semua album keluaran Taylor Swift.”
Aku tersenyum menanggapinya. “Terimakasih ya sudah mampir,”
“Sama-sama. Sudah ya Kim, aku pergi dulu. Semoga weekend-mu menyenangkan. Bye!”
Aku memandang jam yang menempel di dinding ruang tamu, ke bioskopnya masih dua jam lagi. Kuputuskan untuk menyegarkan tubuhku dengan mandi air hangat, scrub dan massage mandiri, sambil mendengarkan Taylor Swift mungkin bagus juga.

***

Suara Train yang melantunkan Marry Me mengalun ke seluruh ruang mobil. Mom serius menyetir sambil sesekali menyenandungkan lagu, Luna sibuk ber-SMS dengan teman-temannya, sementara aku sendiri hanya menikmati pemandangan di luar yang hangat. Mom sengaja tidak menyalakan AC mobil, jadi angin sore bisa menerpa lembut wajah-wajah kami.
“Kim! Kamu sudah dengar lagunya Imagine Dragons yang judulnya Radioactive? Lagunya enak didengar. Sedikit nge-beat, kalau kata Hanaka, cocok didengar jiwa-jiwa muda yang penuh semangat. Jadi OST film The Host lho! Film besutan Stephenie Meyer itu sedang trend di Twitter, aku sudah menontonnya.” Luna memecah keheningan.
“Ooh, The Host, yang ada Jake Abel-nya itu kan?” tebak Mom. Aku sedikit kaget, Jake Abel itu kan aktor muda yang familiar, main di film Percy Jackson sebagai Luke, tapi aku tidak terlalu menggemarinya. Aku tahu Jake Abel dari Bryan Redwell yang mengaku sebagai keponakan Jake Abel.
“Adik termuda ibuku main film The Host. Namanya Jake Abel. Paman Jake bermain film yang diangkat dari novel dengan pengarang yang sama dengan pengarang The Twilight Saga.” Katanya waktu itu sambil mengunyah roti lapis keju.
“Oh ya? Memang siapa nama ibumu?” tanyaku tidak langsung percaya.
“Veronica Abel, menikah dengan ayahku yang bernama Christian Redwell.”
Aku belum menanggapi dan ia langsung menginterupsiku, “Tidak kusarankan kau menontonnya. Paman bilang, banyak adegan dewasa. Kau belum boleh menontonnya, Bri.” Ia menirukan suara dan gaya Jake Abel.
“KIMBERLY!” Mom berseru mengejutkanku.
“A… apa Mom? Kenapa berseru dengan wajah seperti itu?” tanyaku agak sebal. Wajah Mom barusan kelihatan sangat-sangat tidak enak.
“Luna dan aku sudah memanggilmu 3x, kau tidak kunjung menyahut. Kau baik-baik saja kan, Sayang? Apa kita harus berputar haluan ke klinik kesehatan Dokter Sally Anderson tiga blok dari sini?”
“Mom berlebihan deh,” tukasku. “Aku cuma kepikiran temanku Bryan yang mengaku sebagai keponakan Jake Abel.”
“Bryan Redwell?” Pertanyaan Mom kusambut dengan anggukan kilat.
“Yang dulu pernah sekelas denganmu saat masih kindergarten itu? Putra bungsu Mr. Christian Redwell yang merupakan kepala sekolah?” Aku mengiyakan.
“Kemarin Mom bertemu dengannya di supermarket saat sedang memilih serealmu. Kami saling menyapa. Mrs. Redwell berbelanja dengan seorang lelaki muda berwajah tampan. Saat Mom tanya, ia bilang itu adiknya yang bernama Jake Abel. Beberapa pengunjung supermarket menatapnya lama-lama dengan pandangan kagum. Kata Mrs. Redwell, adiknya itu baru-baru ini ikut bermain film karangan penulis Stephenie Meyer.” Urai Mom.
“Ooh, jadi Bryan tidak bohong.” Tukasku.
Sampailah kami di Garden Theatre. Tidak terlalu ramai. Baguslah, aku kurang suka keramaian. Sembari aku dan Luna memesan tiket untuk film Wolverine, Mom membeli 2 kotak popcorn BBQ ukuran sedang dan 3 kaleng cola. Ooh, Mom beli juga sebungkus twister isi ayam dan selada, sepertinya untuk Mom sendiri. Mom pernah bilang snack Twister yang dijual di Garden Theatre enak, waktu itu kami hendak nonton Despicable Me.

Dad, coba tebak, apa yang sedang kulakukan weekend ini bersama Mom dan Luna. Omong-omong, tidakkah Dad rindu pada kami? :D

Tulisku di SMS yang kukirim pada Dad. Entahlah Dad sedang apa. Mungkin sedang menyesap vanilla latte hangat sambil memeriksa lembar jawaban mahasiswa seperti yang biasa Dad lakukan di rumah.
Speaker bioskop mengumumkan bahwa pintu studio 2 tempat film Wolverine diputar sudah dibuka. Kami bergegas masuk dan mencari tempat duduk.

Tentu saja Dad rindu padamu, Kimberly. Rindu Mom dan Luna juga. Baiklah, kau sedang nonton film sambil menikmati popcorn bukan? Dad sungguh iri!

Bagaimana Dad bisa tahu? Aku tersenyum. “Mom tadi bilang Dad kalau kita akan pergi?” tanyaku pada Mom. Mom mengangguk. “Iya dong. Istri yang baik itu kalau mau pergipamit pada suaminya sekalipun tak di rumah.” Mom mengerlingkan mata.

Dad curang! Pasti sudah diberitahu Mom. Aku juga rindu padamu. Cepatlah pulang. Kuharap logat Inggrismu tidak berubah ke logat Perancis ya! Eh, apakah Dad sedang memeriksa tugas para mahasiswa sambil minum vanilla latte Perancis yang tak seenak buatan Mom? :p

“Kimberly, matikan HP-mu, atau setidaknya kecilkan keterangan display-nya. Nanti ditegur petugas lho.” Luna memperingatkan.
“Oke, Luna.” Aku me-lock HP-ku tapi SMS dari Dad yang tiba-tiba membuat HP-ku berdering, kubuka SMS Dad. Astaga, cepat sekali!

Dad memeriksa tugas mahasiswa sambil minum americano. Vanilla latte kosong saat Dad mampir di kafe trotoar tadi. Dad rindu New Castle. 2 hari lagi, sabar. Sudah mulai filmnya? Lanjutkan nanti ya. Dad mau ke teman Dad, Mr. Chong. Titip salam? 

Dad tidak beruntung. Ya, baru saja mulai. Nanti kita SMS-an lagi Dad. Kata Mom, nanti kami akan dine out di Triple-T, makan sushi enak. Kapan-kapan kita coba yuk Dad! Oke, salam kenal untuk Mr. Chong :-)

Kumasukkan HP-ku ke dalam saku celana. Film masih masuk introduction, jadi sebaiknya aku menikmati film ini baik-baik.

***

“Satu porsi sushi, satu porsi bento, satu porsi takoyaki, segelas lemon squash, segelas Momi milk tea, secangkir ocha, dan seporsi mochi sakura. Mau tambah apalagi Nyonya? Atau silakan coba menu appetizer baru kami bulan ini, dorayaki karamel?” Mom menolaknya dengan halus, “Baiklah, silakan tunggu lima belas menit, Nyonya.”
Triple-T benar-benar restoran Jepang yang bagus! Orang-orang makan di sini seperti orang Jepang saja, makan-nya di meja lesehan yang dialasi kain tebal. Wallpaper di sebuah dinding menunjukkan gambar Gunung Fujiyama yang sejuk dan biru. Ada juga wallpaper pepohonan sakura yang sedang mekar, pink dimana-mana. Di dinding kayu terpajang tulisan-tulisan berbahasa Jepang dengan huruf katakana. Ada juga pengunjung restoran yang sepertinya orang Jepang yang sedang berlibur ke Inggris. Kuamati keluarga itu, mereka terdiri dari seorang ibu, ayah, dan dua anak laki-laki kembar. Mata mereka sungguh sipit dan kulit mereka kuning langsat seperti orang Asia umumnya. “Kanpai!” kata mereka tiba-tiba sambil mengacungkan gelas masing-masing. Sepertinya si ayah dan ibu minum wine, sementara kedua anaknya minum milk shake. Aku iseng menebak, sepertinya arti dari kata kanpai yang tadi mereka ucapkan itu bersulang, seperti cheers mungkin?
“Kimberly, kau melihat keluarga Jepang itu seperti melihat Gulliver saja.” Cetus Luna. Mom tertawa, “Memangnya kau pernah lihat Gulliver, Luna?” tanya Mom. “Ada-ada saja!”
“Mereka unik,” sahutku sambil bertopang dagu.
“Tahu tidak Luna, Kim, dulu Mom dan Dad pernah mengunjungi Jepang lho.” Mom berceletuk membuatku membulatkan mata. Luna tampak tertarik mendengarnya.
“Apa?! Dalam rangka apa Mom ke Jepang? Katanya, Mom belum pernah ke luar negeri sama sekali. Kapan Mom? Aku ikut tidak? Kenapa Mom tidak pernah memberitahuku?” aku merecoki Mom dengan berbagai pertanyaan. Waktu itu Mom bilang, “Mom ingin seperti Dad yang sering ke luar negeri. Mom saja belum pernah ke luar negeri.” Saat mengantar Dad ke bandara untuk terbang ke China (kunjungan kerja ke Tsinghua University). Dad hanya tersenyum mendengarnya.
“Kau belum lahir, Kim. Waktu itu tahun 1999 kalau tidak salah…”
“Biar aku tebak, Mom honeymoon ke sana ya!” aku bersemangat sekali, sampai-sampai suaraku naik 1 oktaf. Pengunjung di meja sebelah kanan dan kiri kami ikut menoleh. “Kim, kecilkan suaramu,” tegur Luna, sambil mencubit lembut pipi kananku.
“Dari dulu kau memang punya bakat fortune teller. Entah keturunan siapa, nenek-nenekmu tidak ada yang pernah jadi peramal.” Ujar Mom sambil mencubit hidungku. Aduh, dicubit terus! kuusap hidung dan pipiku. “Mom sudah mengatakannya sebanyak 308x, sudahlah lanjutkan ceritanya saja! Aku ingin dengar, Mom!”
“Tidak bisa disebut honeymoon juga sih! Eh omong-omong, mana boleh anak kecil sepertimu bercakap-cakap tentang honeymoon, itu urusan orang dewasa.Waktu itu Dad sedang mengerjakan proyek paviliun seorang pengusaha tekstil sukses asal Jepang bernama Tuan Soichiro Takara di daerah elite St. Luke, Dad dan timnya mengerjakan proyek itu dengan amat sempurna sehingga si pengusaha itu memberi tip yang tidak sedikit untuk tim Dad, tapi Dad memberikan tip bagiannya kepada seorang tunawisma tua di dekat kampus, dan secara tak sengaja itu dilihat oleh putra si pengusaha, namanya Nakajima Takara. Keesokan harinya, di meja Dad sudah ada kiriman 2 buah tiket pesawat dan paket liburan ke Jepang selama seminggu. Kau tahu? Sebenarnya saat itu Mom sedang hamil muda kamu, Kimberly.”
Aku menganga tak percaya, “Artinya, secara tidak langsung aku juga ke Jepang dong, meskipun masih di dalam rahim Mom.” Tukasku. Mom mengangguk. Luna tampak antusias sekali mendengarkan cerita Mom, “Jadi pengirimnya Tuan Soichiro Takara itu, Bibi?” tanya Luna.
“Ceritanya belum selesai, Sayang.” Jawab Mom sok misterius. “Mom lanjutkan ya. Mom saat itu ngidam sekali dengan Jepang. Apa-apa yang berhubungan dengan Jepang, Mom suka. Mom bahkan ikut kursus ikebana, merangkai bunga khas Jepang, membeli berbagai macam kimono, minum ocha atau makan kue mochi, bahkan belajar menggambar manga, tapi Mom tidak bisa-bisa, susah sekali tahu. Akhirnya Dad mengambil hadiah itu dan pergi bersama Mom ke Jepang. Kami mengunjungi Tokyo dan menginap di Sheraton Hotel di Tokyo. Mengunjungi tempat pemboman Kota Hiroshima, ke Tokyo Disneyland yang saat itu masih sederhana, berkunjung ke Gunung Fujiyama yang dingin, naik cable car, main ice skating di situ, padahal Mom sedang hamil lho! Mom membujuk Dad supaya mengizinkan Mom main ice skating. Untung Dad mengizinkan, meskipun cuma setengah jam.”
Cool!!” seru Luna dan aku berbarengan.
“Saat kami sedang makan siang di sebuah restoran Jepang, seorang lelaki menghampiri Dad dan mereka saling bersalaman. Lelaki itu datang bersama istrinya yang ramah. Luna benar, itu Tuan Soichiro Takara dan istrinya, Nyonya Mio Takara. Tebak saat itu Mom sedang makan apa?”
Takoyaki dan ocha, Nyonya.” Seorang pelayan menyajikan hidangan sambil membawa troli makanan. Aku, Luna, dan Mom kaget, lalu kami tertawa terbahak-bahak. Seolah pelayan itu menjawab pertanyaan Mom. Pelayan itu terlihat bingung sekali tapi tetap menjaga profesionalitasnya, “Bento dan lemon squash, kemudian sushi dan Momi milk tea.Mochi sakura sebagai appetizer.” Si pelayan pamit kemudian meninggalkan hidangan-hidangan lezat itu pada kami yang sudah keroncongan, dan langsung menikmatinya. Pertama mochi sakura. “Enak ya!” seruku senang.
Sushi-ku terasa lezat sekali. Selada, rumput laut dan alpukat di dalamnya segar dan daging salmon sama sekali tidak terasa amis, padahal setahuku, salmon ini tidak digoreng. Kusuapkan sushi-ku pada Mom dan mempersilahkan Luna menyicipinya.
Oishii,” gumam Luna ketika mengunyah suapan pertama bento. “Apa itu?” tanyaku. “Lezat.” Jawab Mom. Kami kemudian saling menyicipi makanan kami.
Momi milk tea pun terasa manis dan segar. Teh susu ini di dalamnya terdapat bola-bola tapioka hitam yang kenyal bila dikunyah. Sedotan yang dipakai pun gemuk. Lemon squash pesanan Luna cantik sekali penampilannya. Stroberi merah menghiasi mulut gelas. Pasti kaya akan vitamin C. Cocok untuk Luna yang sering sariawan. Aku jadi tahu kenapa Luna sering memesan minuman jeruk atau lemon saat dine out bersama keluargaku. “Ocha-nya enak, pahit sih, tapi Mom tidak menyesal deh pesan ini.” Puji Mom. Takoyaki alias daging cumi-cumi yang dipesan Mom tak kalah lezat. Malah Mom ingin pesan satu lagi untuk dibawa pulang, tapi tidak jadi. Nggak tahu kenapa.
Seusai membayar semua tagihan makanan yang kami nikmati tadi, Mom iseng menghampiri si pelayan yang tadi melayani kami. Mungkin memberi tip. Aneh, jarang-jarang Mom memberi tip pada pelayan.
“Tahukah kalian kenapa tumben sekali Mom memberi tip pada si pelayan?” Kami bertanya, kenapa. “Karena dia menjawab pertanyaan yang tadi Mom beri pada kalian dengan benar.” Mom mengerlingkan mata. Kami tertawa.

***

Aroma roti panggang yang menyeruak dari dapur membuatku mempercepat langkah menuju ruang makan. Tas sekolah kupanggul, sekalian biar habis sarapan langsung berangkat. Buku-buku pelajaran hari ini sekaligus perlengkapan sekolah sudah masuk tas semua. “Pagi, Mom.” Sapaku. Mom yang memakai celemek bunga hortensia tersenyum, “Luna mana?” “Luna lagi di kamar mandi.” Kata Mom sambil meletakkan piring. “Hot cake?” mataku membulat. “Kukira roti panggang,”.
“Resep dari Bu Khalida Azzam.” “Tetangga baru kita yang orang Indonesia itu? Memang kenapa kok sudah baik sekali memberi Mom resep makanan?” tanyaku sambil menyicipi hot cake, “enak lagi,” lanjutku.
“Mom belum cerita ya? Dua hari yang lalu Mom mengunjungi Bu Khalida, kebetulan beliau menyuguhi hot cake buat Mom. Mom suka sekali, sampai-sampai ia berbaik hati memberikan resep barangkali Mom tertarik membuatnya.”
Kumakan sarapanku dengan lahap, sampai tinggal separuh Luna baru datang, bergabung makan bersama kami.
“Pagi. Maaf aku telat bangun. Semalam susah tidur.”
“Kenapa? Kau kangen Australia ya?” tebakku yang dijawab senyum oleh Luna.
“Sepertinya iya.”
“Kau boleh menggunakan telepon kalau mau menghubungi orangtuamu Luna.” Kata Mom sambil meneguk sari jeruk.
“Tenang saja, Bibi. Semalam aku asyik Skype-an bersama Ayah dan kakakku sampai lupa waktu.”
“Oh, begitu. Ini kotak bekalmu, Kim. Mom buatkan sandwich, dihabiskan ya.”
“Siap Mom.”

Komentar

Postingan Populer