Malam itu...
Selamat malam, post cerita bikinanku ya. Actually this is a true story, happen on me. Tapi tak ubah 70% lah, aslinya gak gini banget. Gampang e ngene, iki gak usah dianggap nyata. Cuma imajinasi koook :-)) Met baca ^ ^
“Malem ini nonton
bareng, acaranya jam 8 teng. Panitia teknis harap mempersiapkan segala
sesuatunya. Faisal, kamu penanggung jawab nobar. Kita jadi pake halaman aula
dusun. Yang gak panitia teknis, plis dengan sangat dateng ke halaman kantor
dusun on time, dan kalo bisa bantu panitia teknis menjaga anak-anak dan
mengantarkan mereka pulang. Oke? Kita masih punya 3 hari di sini, fokus dan
tetap semangat!” suara Kikan, koordinator bagian Event Organizer terdengar
serak ketika mengerahkan kawan-kawannya saat briefing singkat.
Namanya Ajeng
Srikandi Prameswari, menolak panggilan Ajeng apalagi Sri, dan memilih Kikan
sebagai yang terbaik. Seorang perfeksionis yang agak sedikit diktator, ketua
ekskul Robotik dan menduduki kelas khusus anak pintar di sekolah. Raut dan
watak tegas Kikan tak dapat dilawan. Sekilas paras itu tampak sombong, tidak
ada ramah-ramahnya sama sekali. Beda dengan Raisha anggota bagian Penggalian
Dana yang ramah dan murah senyum, atau Qonita yang punya keturunan Banjarmasin
dan menjabat sebagai anggota bagian PR. Sudah tentu Qonita cantik, tanpa
tersenyum pun ia sudah sangat cantik.
Kali ini Kikan menjabat sebagai koordinator bagian (koorbag) Event Organizer dalam acara Bakti Sosial tahunan yang digelar SMA-nya di sebuah dusun di kaki Gunung Panderman, Batu. Panitia yang tergabung diseleksi ketat, dipilih mana yang benar-benar kuat hidup serba terbatas dan rela menyumbangkan waktu liburannya untuk acara ini. Acara besar yang butuh banyak dana, baik dari internal sekolah maupun sponsorship, Kikan sebaik mungkin mengonsep dan membuat acara semenarik mungkin untuk warga desa.
Kali ini Kikan menjabat sebagai koordinator bagian (koorbag) Event Organizer dalam acara Bakti Sosial tahunan yang digelar SMA-nya di sebuah dusun di kaki Gunung Panderman, Batu. Panitia yang tergabung diseleksi ketat, dipilih mana yang benar-benar kuat hidup serba terbatas dan rela menyumbangkan waktu liburannya untuk acara ini. Acara besar yang butuh banyak dana, baik dari internal sekolah maupun sponsorship, Kikan sebaik mungkin mengonsep dan membuat acara semenarik mungkin untuk warga desa.
Beberapa anak
terdengar saling berbisik. Ada yang berbisik tentang “Emang jam berapa
acaranya?” padahal sudah dijelaskan juga oleh Kikan. “Yah, padahal malem ini
mau tidur lebih awal,”, “Aku bukan panitia teknis, alhamdulillah!” sampai yang
terkandung maksud modus atau cuci mata seperti “Aku panitia teknis lho, bagian
konsumsi anak-anak. Gatra juga panitia teknis yes, seneng banget!” Ada juga yang bisikannya malah mengandung niat
menggosip, “Ih gitu banget, ngomongnya santai aja kali.” Atau “Lihat aja Si
Alia ketua OSIS aja sampe ketawa lihat Kikan...”
Kikan tak peduli
dengan semua bisikan teman-temannya. Perutnya meringik minta diisi.
Mudah-mudahan makanan di dapur belum habis. Seruan Dannis yang merupakan
anggota bagian konsumsi panitia dan peserta terngiang, “Rek, siang ini kita
masak tumis kangkung sama ayam goreng.” Ia melangkah menjauhi kerumunan, menuju
dapur, markas teman-teman konsumsi.
“Kamu kok di
sini?!” Kikan menatap Gatra dengan sedikit melotot. Anak laki-laki dengan raut
lelah dan lapar itu tak menjawab. Lah emang gak boleh makan di sini apa?
Batinnya. “Makan, Mbak.” Sahut Gatra, kemudian menekuni nasi dan paha ayam
goreng yang terlihat gurih itu. “Mbak Kikan udah makan?” tanya Gatra lagi,
sekedar basa-basi pada kakak kelas yang terkenal kurang ramah tersebut. Kikan
memainkan alis, kemudian meninggalkan Gatra dengan cueknya sambil berseloroh,
“Kepo banget sih jadi adik kelas,”
Gatra tertegun.
Film Garuda di
Dadaku malam ini menjadi film pilihan untuk ditonton bersama anak-anak desa.
Wajah-wajah polos dan lugu, datang dengan pakaian pudar seadanya, dengan ingus
mengalir yang tak kunjung diusap. Panitia mengenakan pakaian sopan dan tanda
pengenal. Beberapa anak kecil masih bermain-main bersama kakak panitia.
Terlihat si kecil berambut keriting, Bulan sedang bercanda dengan seorang kawan
Kikan, “Akbar, tolong Bulan dan teman-temannya disuruh duduk. Acara kita telat
nih. Aisyah, Salsa, Yunda, ayo jangan diem aja, adik-adiknya suruh duduk.
Dannis, konsumsi sudah siap kan? Ryan, proyektornya kenapa sih?” Kikan pemilik
suara itu.
Ryan dan beberapa
anak laki-laki masih menyusun stopkontak terminal supaya tidak kena air sisa
hujan malam itu. Dingin mendera. Dannis menghampiri Kikan yang berdiri tak
sabar. “Kan, Kikan, kamu makan malem dulu. Nanti sakit lho. Tahu telurnya masih
sisa kok. Yang lain udah pada mak-” Dannis belum selesai bicara ketika Kikan
langsung beranjak meninggalkannya. Enak saja Dannis bilang begitu, batin Kikan
jengkel. Mana bisa ia makan dengan persiapan nobar yang nggak dituntaskan
segera oleh Faisal? Mana hujan lagi!
Kira-kira lima
menit kemudian semuanya beres dan acara nobar bisa dimulai. Itu pun butuh
bantuan Kak Bayu dan Pak Ridwan. Semua kursi dan bangku sudah terisi penuh oleh
anak-anak kecil, penonton film Garuda di Dadaku. Mereka berdampingan dengan
kakak-kakak kesayangan masing-masing. Bulan yang berambut keriting asyik dengan
Kak Akbar, Rika, Putri, dan Mawar duduk di samping Kak Saskia dan Kak Yunda.
Termasuk di bangku belakang, Gatra, Ryan, Faisal, Alfan, Agung dan gerombolan anak
laki-laki lainnya yang sibuk mengobrol sambil nonton film.
Kikan sendiri
berdiri. Kursi habis. Ia cuma bisa menelan ludah, kesal sekali. Ia pandang Faisal
yang sedang duduk di kursi plastik, asyik tertawa bersama yang lain. Sapa yang bantu kamu nyelesaiin problem
acara Nobar yang harusnya jadi tanggung jawab kamu. Sok gak tau banget sih ada
cewek berdiri di deketnya. Yang peka dikit napa.
Beberapa anak-anak
kecil bersorak kagum melihat keahlian si tokoh utama menggocek bola. Kikan
masih dengan tampang datarnya, tak tertarik sedikitpun. Tapi kedua kakinya
benar-benar pegal. Gak mungkin mau duduk di tanah becek di bawah... keluhnya.
Saat itulah Gatra
datang. Di tangannya ada sebuah kursi hijau plastik yang sebelumnya ia gunakan
untuk duduk. Cowok itu menghampiri Kikan, kemudian berujar, “Ini Mbak. Pake aja
kursiku.” Ia letakkan kursi tersebut dengan pandangan kaget Kikan. “Gak... gak
usah Dek. Buat kamu aja...” sahut Kikan, diburu sungkan tiada tara. Gatra
berjalan enteng meninggalkan seniornya, “Gak papa Mbak. Pake aja.”
Kikan tertegun.
Hati berikut wajahnya menghangat. Sudut bibirnya membentuk senyum. Senyum yang
persis seperti senyum Laila ketika melihat Qais datang menemuinya.
Komentar
Posting Komentar