Young.

"Ke HomeFront yuk," sederet kalimat yang meluncur dari mulut Belinda serentak menaikkan kadar moodku yang sebelumnya terjun bebas.
Kutatap lamat-lamat pantulan jelek di cermin. Oh tidak, hidung merah, mata bengkak dan merah, rambut acak-acakan. Memang sedahsyat apa sih tangisanku barusan?
"Mandi aja gak papa, gue tungguin," kata Belinda lagi sambil membuka-buka majalah fashion langgananku.
"Lah," aku ganti memandang gadis yang punya 25% gen Irlandia itu. "Kok lo tau gue mau mandi dulu sebelum ke HomeFront?"
Belinda bergidik jijik, "Sapi aja kagak mau jalan sama lo kalo tampang lo begitu. Apalagi gue."
Sialan. Aku meraih handuk dan menghilang segera di balik pintu kamar mandi.

***
Belinda memarkirkan March putihnya dengan sempurna. Kubenahi bagian belakang stripy dress merah hitamku sebelum menggandeng Belinda masuk ke dalam kafe langganan kami ini. Ting tong, bel yang sengaja digantung di atas pintu masuk berbunyi. Lamat-lamat suara Hugo Strasser Orchestra terdengar sedang memainkan It's Only a Papermoon. Irama foxtrot-nya mengingatkanku pada Mama.
"Welcome back, Gurls..." suara Mas Aldian yang ramah berdiri di dekat cash register menyambut kami berdua.
Aku melempar senyum pada cashier yang sudah akrab dengan kami itu. Setelah beberapa detik berbasa-basi, aku mendamparkan pantat ke atas sebuah bangku putih tulang, looks better than other.

HomeFront. Namanya mengingatkanku akan sebuah film action yang dibintangi oleh aktor terkenal Jason Statham. Kafe ini mengambil sentuhan vintage di hampir tiap sudutnya. Kesan hangat tertangkap dalam sekali pandang. Dinding batu-bata dan lampu-lampu temaram yang entah kenapa terlihat elegan. Plus sebuah grand piano putih di ujung ruangan. It adds a gentle touch and atmosphere to the room.
Di sudut-sudut tertentu terdapat rak buku yang bermodel kuno tapi tidak rapuh. Beberapa toples bening berisi biskuit-biskuit cracker berderet rapi di atas rak. Sebuah sepeda tua dipajang di kaca dekat pintu masuk. Untuk memberi kesan gorgeously vintage cafe kepada yang melihat. 
Dari sekian banyak kafe di kota ini, HomeFront yang paling sreg denganku. Belinda juga. Menu-menu yang disediakan HomeFront cenderung sehat, alami, but still, trend never leave this cafe. Harga yang dipasang tidak terlalu mahal, walaupun tidak juga bisa dibilang murah. I love this HomeFront, in or out.

Aku memilih beef pie dan cranberry squash, sementara Belinda memesan strawberry crumble dan hazelnut hilltop. "Lo gak jadi nyobain roti cane-nya?" tanyaku. Belinda menggeleng, "Don't worry lah. Bisa kapanpun. The thing we should worry about is apa penyebab lo nangis kejer kayak beruang gitu sebelum gue drop lo tadi? Bertengkar lagi sama Arian?"

Kutarik nafas pelan, berusaha menetralisir keinginan untuk menangis lagi. "Arian mau ke Kuala Lumpur, Lind," Belinda seratus persen memerhatikanku. "Gue nggak mau LDR dan kemudian bernasib ngenes kayak Kesya. Okelah jarak kami cuma Kuala Lumpur-Jakarta, nggak kayak Kesya sama Fajar yang Jakarta-Ontario. Kapan kali gue bisa nengok dia ke Kuala Lumpur. But I can't stand LDR. Lo paham gue kan Lind?"

"Old habit. Lo selalu terikat sama pikiran lo sendiri, padal itu belom tentu bener adanya. Jangan keburu mikir negatif kenapa sih?" Belinda berujar.
Aku membersit hidung dan menyeka air mataku dengan tisu yang sudah kupersiapkan di handbag. Oh ya, ini bukan kali pertama aku atau Belinda nangis di HomeFront. Entahlah urat malu kami putus sejak kapan.

"Trus Arian gimana?"
"Gue nangis aja gitu abis dia kasih tau. Dia bingung dan minta maaf ke gue. Dia nyesel but he can't do anything Lind. Semua pendidikan dia udah diatur sama bokapnya yang orang Dirjen Pendidikan termasuk college di luar negeri. Tell me siapa yang jahat?"
"Lo," jawab Belinda singkat.
"What? Excuse me, My Dear Lindy,"
"Yeah it's you, My Dahling, Audina Wibowo."

Kedua mataku memutar judes. Seorang waiter kemudian datang membawakan pesanan kami. Kuterima segera cranberry squashku sebelum si waiter meletakkannya di atas meja. Tentu ini membuatnya kaget. Biarlah.

"Please don't slaughter me with your freaking sight," pinta Belinda setelah berterimakasih pada si waiter.
"Jadi kenapa sekarang gue yang dibilang jahat?"
"Menurut gue Audy sayang, lo seharusnya support Arian. Lo dukung cita-cita Arian, supaya dia bisa sukses ke depannya. Lo tau nggak Arian itu udah lama pengen ke Malaysia atau itu cuma permintaan ortu dia?"
Aku mengingat-ingat sejenak, "Um, pernah bilang kalo pengen study abroad. Nyusul abangnya."
"Tuh dia,"
"Masa iya gue harus ngorbanin perasaan gue, Lind?"

Komentar

Postingan Populer