Dalam Sebuah Perjalanan
Kau duduk
hampir berhadapan denganku. Kau di kursi C 13, aku di kursi E 12, di gerbong
III kereta Gajayana yang membawaku ke Jakarta. Di kursi ini, E 12, aku bisa
memandangmu dengan mudah. Kemeja warna gelap, celana jeans, casual. Wajahmu
familiar, seperti pernah bertemu, entah di mana dan kapan.
Alismu tebal
menaungi kedua mata yang tersorot teduh. Rambutmu halus bergelombang,
mengingatkanku pada ombak lembut Pantai Sanur di subuh hari. Kulitmu cokelat
cerah, terlalu cerah untuk ukuran laki-laki. Kurus. Tidak terlalu tinggi
sepertinya, tetapi bila kita berdiri sejajar, mungkin tinggiku sebatas tinggi
dagumu. Hanya beberapa senti.
Air mukamu
tenang, menatap lurus ke depan, sesekali tatapan teduhmu membentur jendela yang
menampilkan sekelumit lekuk indah negeri khatulistiwa ini. Kadang ponselmu berdering,
kauambil dari saku celanamu lekas-lekas, meletakkannya di telinga dan bercakap
dengan orang di seberang. Sesekali pula kau tersenyum ramah kepada saudaramu
yang duduk di kursi D 12 denganku. Pikiran isengku sempat menyesalkan mengapa
bukan kau saja yang duduk di sampingku, D 12. Tapi dari sini, dari kursiku D 12 justru aku bisa melihatmu tanpa halangan apapun. Diam-diam kukagumi senyum dari
wajah familiarmu. Maaf kalau aku lancang. Tapi sungguh, sepertinya aku pernah
melihat wajahmu.
Secercah kesan
yang kudapat darimu dalam beberapa cungkil hitungan jam di kereta itu, murah
senyum dan hangat. Wajahmu menenangkan dengan sorot mata yang teduh. Ada
sedikit rasa hangat lancang entah datang dari mana yang begitu berani
membungkus hatiku, tapi buru-buru kubasmi sebelum parah keadaannya. Apa-apaan.
Kita baru bertemu untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya, sepertinya salah
satu organ tubuhku ada yang berdenyut tidak biasa. Maaf kalau kau terganggu.
To : Tania
Aku ketemu orang ganteng
di kereta heh :D
Sent
Kupalingkan
perhatianku darimu dengan memasang headset di kedua telinga. Memutuskan bahwa
hamparan hijau di jendela kereta adalah pemandangan tepat untuk melenakan mata.
Suara emas David Guetta mengalun melantunkan Titanium, sebuah lagu pengisi bara
semangat. Sesekali aku membalas pesan-pesan singkat dari kawan-kawanku, seiring
laju tenang kereta di atas rel yang membelah perbukitan. Matahari bersinar
terik di luar. Debur AC hilang tertutup celoteh manusia-manusia di dalam kereta
ini.
To : Lilian
Foto gih terus kirim,
biar aku bisa liat gantengnya kaya apa…
Sial.
Pandangan isengku terantuk lagi padamu, kemudian kau lakukan hal yang sama.
Kita bersitatap sejenak namun segera kualihkan pandangan ke arah lain. Maaf-maaf-maaf
aku sungguh lancang. Kau tahu, aku begitu pandai memasang wajah pokerface yang
sempurna. Datar tanpa rona sedikitpun. Di balik wajah datar ini, kau tahu, aku
sungguh berdo’a supaya kau tidak cukup ge-er untuk berpikir bahwa aku
memerhatikanmu. Aku berdo’a supaya kau tidak sadar dengan apa yang diperbuat
mataku.
Sampai akhirnya
sebuah stasiun memisahkan kita. Setitik kecewa menyusup halus, kukira aku akan
bisa menatap mata teduh itu hingga perjalanan ini berakhir. Sepertinya aku yang
terlalu terbawa suasana. Tentu saja kau tidak selintas pun berpikir demikian.
Yang ada di pikiranmu hanyalah turun, sampai di tempat tujuan, dan melupakan
segala yang terjadi di gerbong III ini.
Dari jendela
kereta ini, aku mereka baik-baik sosokmu dalam mataku. Sosokmu yang ceria
merangkul saudaramu, menyusuri peron yang sebentar lagi kutinggalkan. Dari
jendela ini, kuhafalkan baik-baik sosokmu untuk kuingat sebagai sebuah memoar dalam
perjalanan kereta. Aku sungguh tidak tahu kapan aku bisa menatap wajah teduh
itu lagi.
Walau sosokmu
hanya tersimpan di otak dan di foto yang kuambil diam-diam, aku akan terus
mengingatmu.
Sampai jumpa entah di mana.
Biarkan aku terus berharap kita akan kembali bersua.
-Putri Lilian-
dalam sebuah perjalanan.
Komentar
Posting Komentar