Romansa Hujan yang Sempurna

Rain in the city - stock photo

Aku baru tahu ada panorama sore semenyenangkan ini di balkon asrama. Benar-benar meneduhkan, sesuatu yang baru aku lihat sepanjang dua setengah tahunku di sekolah menengah atas.

Dengan kuasa-Nya, sore ini terguyur air langit. Hujan membungkus lembut kota Malang. Masih rintik-rintik menerobos celah bumi. Aku melangkahkan kaki menuju balkon lantai empat. Semua berawal dari pintu asrama yang sengaja dikunci oleh satpam, supaya siswa tidak bisa masuk kecuali jamaah ashar di masjid sudah bubar. Bukannya aku tidak mau sholat berjamaah yang penuh ganjaran kebaikan itu. Kuberitahu, kerudung seragam yang kupakai ini terciprat sedikit darah bekas donor kemarin, luka bekas suntikan donor itu belum menutup sempurna ketika kugunakan tanganku untuk membawa snack bonusan PMI. Rona merah membanjiri pakaian seragam putihku, beberapa tetes terciprat ke kerudung. Memang darah yang keluar agak banyak, semua murni salahku.

Kau tahu darah itu termasuk najis, yang tentunya akan membuat sholatku tidak sah. Kuputuskan untuk sholat ashar munfarid di kamar. Dengan sabar aku mencoba satu per satu pintu per lantai, yang sialnya terkunci sempurna. Sampai akhirnya kedua kakiku menapak lantai empat.

Segar. Demikian kesan yang kudapat dari sore yang basah ini. Dari balkon aku bisa melihat perputaran tower crane yang disediakan untuk konstruksi gedung tinggi entah fakultas apa universitas seberang. Bahkan aku melihat salah seorang pekerja gedung itu diturunkan (kemudian dinaikkan) dengan tower crane tersebut melalui beberapa utas tali, di bawahnya ada beton beberapa tumpuk.  Pekerja tersebut kemudian mendarat di lantai teratas konstruksi gedung. Keren, aku baru sekali ini melihat pekerja seberani itu.

Lalu lalang kendaraan bermotor menerjang hujan, dengan pengendara yang mengenakan jas hujan ataupun tidak. Sesekali klakson menyela rinai hujan. Hembusan angin yang lembut membawakan kesan damai tersendiri. Atap-atap rumah warga basah, pun dengan jalanan. Beberapa di antaranya menyalakan lampu. Padahal masih pukul setengah tiga sore kira-kira.

Lalu beberapa sosok siswa berseragam putih biru melintas, riuh rendah tawa mereka. Antara senang bisa berbasah-basah ria dengan sebaya atau meributkan jaket yang tidak cukup meneduhkan kepala-kepala mereka dari rintik air. Angin kembali menyapu, membuatku mundur selangkah supaya tak terkena air. Aku tidak berminat dijenguk flu apabila aku nekat tersentuh basahnya.

Kuhela nafas dalam-dalam, menikmati udara sore kota Malang yang terhirup masuk ke paru-paru. Tatapanku bersibobrok dengan beberapa pejalan kakitampaknya mahasiswa yang menyusuri jalanan dengan payung terkembang. Mungkin baru selesai kuliah, pulang ke kosan dengan perut lapar, sama halnya dengan perutku. Bayangan segelas susu hangat dan roti bakar cokelat, yang sayangnya hanya bisa kunikmati di rumah menyela. Hujan selalu membuatku ingin pulang.

Rasanya penatku menguap ditiup angin dan hujan. Potret hujan sore ini membuatku lupa sejenak dengan segala rutinitas dan setumpuk PR yang harus dikerjakan. Kacamataku mengembun. Aku amat bersyukur bisa menikmati pemandangan kota, udara, nuansa, tetesan air yang nakal menerpa wajahku, langit kelabu yang menawarkan keteduhan. Ini romansa, kawan! Kukira ini sempurna. Sekali lagi, ini romansa hujan yang sempurna.


Komentar

Postingan Populer